Kamis, 29 Agustus 2013

Pendidikan : Buah Yang Berkualitas



Keselarasan Kearifan Lokal dan Kearifan Global 

Pendidikan merupakan hal yang paling fundamental terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.  Kalimat diatas jika saja sudah diimplementasikan dengan tepat, mungkin Indonesia, dalam usianya yang ke-68 ini, kita telah memetik buah dari hasil jerih payah selama ini. Sayangnya,  bukanya memetik hasil malah masih banyak membutuhkan asupan makanan yang serius dari berbagi pihak untuk mendapatkan buah yang berkualitas.
Berpatokan pada tujuan pendidikan seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD  tahun 1945 :" . .. , mencerdaskan kehidupan bangsa”, serta UU SisDikNas,  beberapa perguruan tinggi di Indonesia  telah sepakat mengemban tugas mulia yang dikenal dengan sebutan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat dengan Visi dan Misi masing – masing institusi. Sayangnya, konsep yang baik tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang dihasilkan.
Konsep yang tidak sejalan ini, disebabkan oleh berbagai faktor namun yang paling mendasar yaitu ketidaksiapan sebagian besar masyarakat negara berkembang dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi terutama dibidang pendidikan. Hal ini terkait dengan sebagian kecerdasan yang telah bergeser bahkan terhilang oleh kebiasaan – kebisaan baru.


 
Kebiasaan baru itu diperoleh  dengan sistem adopsi pendidikan dari luar  tanpa analisa yang dalam mengenai dampak/resiko yang hendak diambil kedepan (konsekuensi) . Misalnya kenaikan BBM yang secara tiba – tiba ini merupakan salah satu contoh dari penerapan ilmu dari luar yang kurang tepat. Meskipun perubahan itu hal yang mutlak dan kita harus siap, namun pertimbangan untuk mempelajari kembali apa yang dilakukan orang tua kita sejak awal  bisa menjadi pijakan dalam mengembangkan kapasitas kita. Disana, mereka tidak melakukan segala sesuatu secara tertulis akan tetapi mereka juga tidak pernah melakukan miss management seperti yang terjadi saat ini.
Dalam proses penerapanyapun menjadi lebih sulit, butuh proses pembelajaran yang panjang yang menguras banyak energi  baik waktu maupun finansial. Yang lebih memperparah keadaan, ada pihak yang bahkan mengambil keuntungan dengan melihat potensi diatas. Energi yang terbuang misalnya banyak tenaga – tenaga potensial untuk mengembangkan negeri  justru menghabiskan waktunya untuk bersekolah. Mirisnya, sebagian orang yang disekolahkan dengan tujuan mencerdaskan bangsa justru membanting stir mereka kearah yang tidak membangun seperti sekolah tanpa batas (alias kuliah sampai mati) atau bisnis lain yang lebih menggiurkan karena alasan ekonomi tapi juga  tidak tahan dengan birokrasi pemerintah atau pihak management organisasi/lembaga pendidikan.
Dari segi finansial, maraknya program sosialisasi dengan tenaga profesional dari luar dengan pertimbangan kualifikasi namun dengan tidak  memanfaatkan tenaga – tenaga potensial  yang pernah dikirim dengan tujuan pengembangan SDM  rasanya hal itu kurang bijaksana. Dengan tenaga professional dari luar ini, diharapkan hasil yang lebih berkualifikasi namun kenyataannya lebih banyak waktu yang terbuang dengan tahapan yang panjang seperti  proses pengambilan data , pengkajian dan hasil yang kurang jelas kapan terimplementasikan dan lebih buruk lagi jika apa yang dihasilkan itu  tidak relevan dengan hati nurani maupun kebiasaan masyarakat lokal.
Menjawab tantangan itu, beberapa orang/lembaga juga telah memperjuangkan sistem pendidikan alternatif namun itu juga tanpa dukungan yang baik dari pemerintah setempat terkait birokrasi. Birokrasi menyebabkan banyaknya staff yang dipekerjakan dengan upah yang minim akibatnya muncul berbagai kepentingan demi mendongkrak kesejahteraan atau kata yang paling sederhana misalnya “apa yang saya dapatkan dengan melakukan hal ini atau itu?”. Selain itu, pendekatan sekolah alternative yang secara langsung maupun tidak langsung mengkopi paste pendidikan luar dengan pertimbangan kemajuan/globalisasi tanpa mengkaji  resiko dan bersinergi dengan kearifan lokal.
Sebaliknya untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, perlu ada kerjasama dengan membangun komunikasi yang seimbang dengan pijakan kecerdasan lokal dan kecerdasan global terkait management lembaga maupun proses belajar mengajarnya tanpa memikirkan “Apa yang akan saya dapatkan dari hal ini atau itu?” (secara pribadi) dan lebih memikirkan “Apa yang mesti saya lakukan untuk hal itu?” Meskipun kesejahteraan itu (kesejahteraan personel) itu perlu dipertimbangkan namun dengan kerja keras dan kesetiaan, kami  percaya akan hasil yang kelak diperoleh dengan apa ditanam hari ini akan sangat memuaskan dan hal tersebut bisa terjadi secara langsung , tidak langsung, seperti yang tertuang dalam sebuah film yang berjudul ”Pay it Forward” atau yang dapat kami pelajari dalam buku Jamil Azzani dalam bukunya "DNA sukses mulia".
Gambar Analogi Pay it Forward

Selalu memiliki pikiran bahwa  potensi dasar masyakat lokal adalah modal utama untuk mengembangkan kualitas pendidikan bisa menjadi sebuah pedoman bijak. Hal ini terkait dengan penerapan management  pendidikan yang sarat birokrasi (internal maupun eksternal)  serta penerapan pendidikan global  yang selama ini kurang optimal.  Oleh sebab itu diperlukan suatu pendekatan yang sangat berbeda dari yang biasanya dalam proses pendidikan dengan petimbangan dua arah yakni  kearifan global dan kearifal lokal. Misalnya untuk anak yang latar belakang orangtuanya penanam ubi, direkomendasikan untuk memasuki sekolah pertanian karena modal utama dia adalah keluarganya dan potensi alam yang dimiliki oleh keluarganya selain itu sistem pendidikan yang telah diperoleh secara turun – temurun memungkinkan mahasiswa/I ini dapat menerapkan studinya dengan lebih baik bahkan mampu mengembangkan dirinya dengan melihat kelemahan yang ada berdasarkan pengalaman pribadi dalam keluarganya. Atau pertimbangan lainnya seperti anak yang mudah beradaptasi dengan beragam perkembangan, dapat ditawarkan beragam opsi untuk melanjutkan pendidikannya  sesuai  impiannya. Meskipun kita tahu bahwa dengan proses belajar/mengajar yang baik, seorang bisa menjadi ahli dengan pilihan mata pencaharian yang beragam. Namun, demi mencapai kualitas untuk konsep negara berkembang seperti kita, hal seperti itu bisa dijadikan salah satu acuan.
Pertimbangan dua arah itu juga  dapat diterapkan dalam management lembaga. Seperti yang dilakukan oleh Wedelin Wiedekin dengan kelompok Shin – Gijutsu dalam mengelolah dan membenahi sistem yang ada di Pabrik Porshe.  Selain itu, kitapun juga harus tetap optimis bahwa apa yang dihasilkan pemerintah, lembaga – lembaga pendidikan, swasta  maupun masyarakat (mahasiswa/I dan orang tua) sejauh ini layak untuk diapresiasi dan  jika digunakan/ diatur dengan bijak, dapat menjadi modal potensial untuk mengembangkan dunia pendidikan kita kedepan. Yang perlu dilakukan disini, yaitu saling mempelajari/sharing  antara pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan, swasta  dan penerima  ilmu (mahasiswa/I dan orangtua) secara internal dengan kearifan dua arah. Tujuannya menemukan kekuatan/ kelemahan masing – masing untuk bisa saling mengisi segala kekurangan yang ada agar dapat dijadikan pijakan demi memajukan pendidikan dinegeri ini, serta komitmen untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar